Tepung
ikan (Fish meal) adalah salah satu bahan pakan konsentrat sumber
protein. Ikan digiling, dimasak dan diproses untuk menghasilkan presscake,
soluble ikan, dan minyak. Produk akhir tepung ikan adalah tepung presscake,
tepung utuh (semua soluble dicampur lagi ke presscake) atau
beberapa kombinasi presscake dan soluble (Agus, 2008). Tabel
1 memperlihatkan hasil analisis kandungan proksimat dari tepung ikan menurut
Darsudi (2011) Dwitiya (2012).
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Tepung Ikan
Kandungan
|
Jumlah
|
Bahan kering
|
93%
|
Air
|
7,00%
|
Abu
|
17,93%
|
Lemak kasar
|
6,89%
|
Protein kasar
|
59,58%
|
Serat kasar
|
4,48%
|
ETN
|
4,12%
|
Sumber:
Darsudi (2011) dalam Dwitiya (2012)
Secara umum,
setiap jenis ikan
dapat diolah menjadi
produk tepung ikan. Namun,
jika dinilai dari
nilai ekonomisnya, maka
akan terjadi seleksi mengenai jenis ikan yang cocok dan cukup ekonomis jika digunakan sebagai bahan
baku pembuatan tepung ikan. Permasalahan lain yang ikut menentukan
kualitas tepung ikan
kaitannya adalah kadar
lemak. Kadar lemak
ikan jika terlalu tinggi akan
berpengaruh buruk terhadap kualitas tepung ikan.
Ditinjau dari
tempat hidupnya, jenis
ikan secara umum
dapat dibagi menjadi 2 golongan,
yaitu:
a. Ikan pelagis,
merupakan ikan-ikan yang
biasa hidup dilapisan
air bagian atas.
b. Ikan
demersal, merupakan ikan-ikan yang biasa hidup didasar perairan.
Habitat atau
tempat hidupnya, jenis
ikan, secara langsung
berkaitan dengan kadar lemak
ikan tersebut. Jenis
ikan pelagis umumnya
memiliki kadar lemak yang
relatif tinggi. Sementara,
ikan demersal memiliki
kadar lemak yang relatif
rendah. Disamping habitat
atau tempat hidupnya,
kondisi musim juga dapat mempengaruhi kandungan lemak ikan.
Jika ditinjau
dari segi kandungan
lemaknya, ikan sebagi
bahan baku produk tepung ikan
dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
a. Ikan
berkadar lemak rendah (3% – 5%),
b. Ikan
berkadar lemak sedang ( 6% - 10% ), dan
c. Ikan
berkadar lemak tinggi ( lebih besar dari 10 % ).
(Murtijdo, 2003)
Tepung ikan yang mengandung protein hewani yang tinggi, merupakan salah satu
bahan baku yang
sangat baik digunakan
dalam penyusunan formulasi makanan
ternak dan makanan
ikan. Bila ditinjau
dari sisi kualitasnya sampai
saat ini tepung
ikan masih sulit
untuk mencari substitusinya.
Protein hewani
tersebut disusun oleh
asam-asam amino esensial
yang komplek, diantaranya asam
amino Lisin dan
Methionin. Disamping itu,
juga mengandung mineral Calsium
dan Phospor, serta
vitamin B kompleks khususnya vitamin B12.
Indonesia memiliki
potensi yang besar
bagi pengembangan produk tepung
ikan. Ada beberapa
daerah yang dapat
menunjang pengembangan industri tepung
ikan, misalnya Kalimantan
Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan,
Nusa Tenggara Timur
dan Irian Jaya.
Industri skala kecil pengolahan dan
pembuatan tepung ikan
di Indonesia, akan
sangat tepat diterapkan, mengingat
kesediaan bahan baku
ikan rucah maupun
sisa olahan cukup besar.
Indonesia sebenarnya
sudah memiliki pabrik
tepung ikan, namun produksinya masih
sangat terbatas, yaitu
sebesar 4.000 ton
per tahun, atau sekitar
10% dari jumlah
tepung ikan yang
diperlukan oleh pabrik
makanan ternak. Adapun 90%
dari kebutuhan tersebut,
dipenuhi dengan cara mengimpor tepung dari beberapa Negara
lain, misalnya Thailand, Peru, Chili, dan Denmark
Besarnya impor
tepung ikan rata-rata
pertahun bagi pabrik
makanan ternak dan ikan
mengalami kenaikan 11,20
%. Hal ini
menunjukkan bahwa pemenuhan tepung
ikan produksi dalam
negeri belum mencukupi.
Harga tepung ikan, secara
umum banyak ditentukan
oleh presentase kandungan protein kasarnya.
Tepung dengan rataan
protein kasar yang
tinggi akan semakin tinggi
haraganya. Tepung ikan impor berkualitas baik jika kandungan protein kasarnya
bekisar antara 60-74%
dengan kadar lemak
bekisar antara 31,72 %
- 57,02 %,
lemak antara 4,57%-20,68%,
dengan kadar air
antara 7,33%-11,16%. (Direktorat Jenderal Perikanan. 1998).
Dari perbedaan
kandungan protein dan
lemak tersebut ada
tanggapan bahwa pabrik makanan ternak dan ikan cenderung lebih menyukai
tepung ikan impor, dengan pertimbangan
bahwa kandungan protein
kasar tepung ikan impor
lebih tinggi dengan
kadar lemak yang
lebih rendah. Namun,
jika ditinjau dari kandungan
protein kasar dan harganya, maka
pabrik makanan ternak dan ikan
yang beroperasi di Indonesia lebih menyukai produksi tepung ikan lokal, karena
harganya relative lebih murah 30% dibanding harga tepung ikan impor.
Tabel
2. Konsumsi Pakan Ternak Indonesia Tahun 1996 – 2001
Tahun
|
Konsusi
(juta)
|
Kebutuhan
Tepung (ton
|
1996
|
6,50
|
325.000
|
1997
|
4,80
|
240.000
|
1998
|
2,60
|
130.000
|
1999
|
3,70
|
185.000
|
2000
|
5,00
|
250.000
|
2001
|
5,75
|
287.500 (estimasi)
|
Sumber:
Anonim, 2010
Tabel 2
diatas menunjukkan bahwa
kebutuhan tepung ikan
di Indonesia pada tahun 1996-2001 mengalami kenaikan angka yang cukup
besar walaupun pada tahun
1997-1998 mengalami penurunan
angka. Untuk tahun 1996-1997 konsumsi
tepung ikan mengalami
penurunan angka dari
6,50 juta sampai 4,80
juta. Dan kebutuhan
ikan juga turun
dari angka 325.000
sampai 240.000 perton.
Untuk tahun
1999-2000 mengalami penurunan
yang cukup tinggi
yaitu dari 185.000 sampai
250.000 ton kebutuhan
ikan. Begitu pula
untuk tahun 2000-2001 juga
mengalami kenaikan angka yang cukup tinggi.
Tabel
3. Kebutuhan Tepung Ikan di Indonesia Tahun 1994 – 1999
Tahun
|
Volum
(ton)
|
1994
|
8.861
|
1995
|
7.770
|
1996
|
7.123
|
1997
|
7.579
|
1998
|
16.457
|
1999
|
31.600
|
Sumber:
Anonim, 2010
Tabel 3 adalah
kebutuhan tepung di Indonenesia sejak tahun 1994-1999 yang mengalami kenaikan.
Pada tahun 1994-1996 yang mengalami penurunan angka dari 8.861-7.123 ton.
Penurunan ini menyebabkan
para produsen tepung
ikan banyak mengalami kerugian
karena tepung ikan
yang dihasilkan banyak
yang tidak terjual dan
laku. Untuk tahun
1998-1999 kebutuhan tepung
ikan di Indonesia
mengalami kenaikan angka yang cukup tinggi yaitu mencapai 45%. Dan itu
juga puncak angka kenaikan tertinggi dari tahun 1994-1999.
Tabel
4. Produksi Tepung Ikan di Beberapa Negara (per 1.000 MT)
Negara
Produsen Utama
|
1992
|
1993
|
1994
|
1995
|
1996
|
1997
|
Chili
|
1.143
|
1.548
|
1.618
|
1.375
|
1.195
|
|
Peru
|
1.283
|
1.620
|
2.443
|
1.844
|
1.972
|
1.663
|
Norwegia
|
267
|
250
|
203
|
231
|
214
|
253
|
Eslandia
|
186
|
194
|
167
|
183
|
265
|
279
|
Denmark
|
355
|
314
|
348
|
374
|
297
|
341
|
Afrika
Selatan
|
151
|
140
|
270
|
45
|
39
|
35
|
AS
|
279
|
318
|
76
|
393
|
400
|
410
|
Jepang
|
430
|
310
|
430
|
210
|
180
|
160
|
Total
|
4.213
|
4.489
|
5.485
|
4.898
|
4.742
|
4.336
|
Sumber:
Anonim, 2003
Angka impor
tepung ikan yang dikeluarkan oleh
BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan
penurunan dari tahun
ke tahun. Pada
2006 mencapai angka 88.825
ribu ton, pada
2008 menjadi 67.597
ribu ton. Tren
penurunan tersebut seiring dengan penurunan produksi tepung ikan dunia.
Hampir semua
negara produsen tepung
ikan dunia mengalami
penurunan produksi. Menurut pakar
tepung ikan dari Fishmeal
Experts Office Perancis, Jean Francois
Mittaine, dalam acara
Seminar Akuakultur yang
diselenggarakan oleh DSM Nutritional Product (17/11) lalu di Jakarta,
produsen tepung ikan dunia masih
didominasi oleh Chili
dan Peru. Dan
disebutkannya, tren penurunan produksi terjadi sejak 2004 yang kala itu produksi tepung ikan dunia
sekitar 6,4 juta ton. Jumlah tersebut menurun setiap tahun hingga 2009 sekitar
4,8 juta ton. Mau tidak mau
konsumsi tepung ikan
dunia juga menyesuaikan
dengan ketersediaan
produksi. Dari sisi
perdagangan internasional, kondisi
ini berdampak pada merangkaknya
harga jual tepung
ikan. Saat ini
harga tepung ikan pada
level US$ 1.300
per ton atau
sekitar Rp 12
ribu per kg
(kurs Rp 9.500/US$ 1). Harga ini
diprediksi terus melonjak seiring dengan tren penurunan produksi tepung ikan.
Bahkan pada tahun 2006 harga sempat hampir menembus level US$ 1.400 per ton.
Penurunan produksi
disebabkan faktor hasil
tangkapan ikan dunia
untuk bahan baku yang
menurun. Ditambah lagi
sejumlah negara produsen
mulai menerapkan kuota penangkapan
ikan, seperti halnya
di Peru yang
dimulai sejak awal 2009. Alasan
lainnya, pengembangan budidaya laut khususnya ikan salmon di Chili dan Peru
mulai digalakkan. Sehingga tepung ikan banyak diserap industri pakan dalam
negeri, dan angka ekspornya pun menurun. Begitu pula China yang industri akuakulturnya
sangat besar. Negeri
Tirai Bambu itu
menyerap impor tepung ikan
terbesar di dunia,
pada 2009 angkanya
mencapai 1,6 juta
ton (lihat tabel). Sebanyak 80%
impor tersebut berasal dari Peru dan Chili.
Dan dalam
kurun waktu dua
tahun terakhir, Indonesia
sudah mampu mendongkrak produksi
tepung ikan. Sepanjang
2007, sebanyak 70%
dari kebutuhan tepung ikan
sudah bisa dipenuhi
oleh tepung ikan
lokal, kebutuhan tepung ikan
bagi industri pakan
udang dan ikan
berkisar antara 90
ribu sampai 100 ribu
ton setiap tahun.
Tak hanya mampu
mendongkrak produksi, para pengolah tepung ikan lokal juga telah
mampu meningkatkan kualitas tepung ikan yang
dihasilkannya. Jika sebelumnya
para pengolah tepung
ikan hanya mampu menghasilkan tepung ikan dengan
kualitas grade C (kandungan protein di bawah 40%) dan
grade B (kandungan
protein 40 –
50%) saja. Sekarang
para pengolah tepung ikan
sudah mampu memproduksi
tepung ikan dengan
kualitas grade A (kandungan
protein 50 –
60%). Lebih dari
50% yang sudah
mencapai kualitas grade A.
Dan jika kontinyuitas
produksi dan konsistensi
kualitas tepung ikan lokal
masih belum bisa
diandalkan dalam jangka
waktu yang panjang (Majalah Trobos, 2010).
0 comments:
Post a Comment