Pages

Labels

Wednesday, 21 January 2015

Tepung Ikan

Tepung ikan (Fish meal) adalah salah satu bahan pakan konsentrat sumber protein. Ikan digiling, dimasak dan diproses untuk menghasilkan presscake, soluble ikan, dan minyak. Produk akhir tepung ikan adalah tepung presscake, tepung utuh (semua soluble dicampur lagi ke presscake) atau beberapa kombinasi presscake dan soluble (Agus, 2008). Tabel 1 memperlihatkan hasil analisis kandungan proksimat dari tepung ikan menurut Darsudi (2011) Dwitiya (2012).
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Tepung Ikan
Kandungan
Jumlah
Bahan kering
93%
Air
7,00%
Abu
17,93%
Lemak kasar
6,89%
Protein kasar
59,58%
Serat kasar
4,48%
ETN
4,12%
Sumber: Darsudi (2011) dalam Dwitiya (2012)
Secara  umum,  setiap  jenis  ikan  dapat  diolah  menjadi  produk  tepung ikan.  Namun,  jika  dinilai  dari  nilai  ekonomisnya,  maka  akan  terjadi  seleksi mengenai jenis ikan  yang cocok dan  cukup ekonomis jika digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung ikan. Permasalahan lain yang ikut menentukan kualitas  tepung  ikan  kaitannya  adalah  kadar  lemak.  Kadar  lemak  ikan  jika terlalu tinggi akan berpengaruh buruk terhadap kualitas tepung ikan.
Ditinjau  dari  tempat  hidupnya,  jenis  ikan  secara  umum  dapat  dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
a.       Ikan  pelagis,  merupakan  ikan-ikan  yang  biasa  hidup  dilapisan  air  bagian atas.
b.      Ikan demersal, merupakan ikan-ikan yang biasa hidup didasar perairan.

Habitat  atau  tempat  hidupnya,  jenis  ikan,  secara  langsung  berkaitan dengan  kadar  lemak  ikan  tersebut.  Jenis  ikan  pelagis  umumnya  memiliki kadar  lemak  yang  relatif  tinggi.  Sementara,  ikan  demersal  memiliki  kadar lemak  yang  relatif  rendah.  Disamping  habitat  atau  tempat  hidupnya,  kondisi musim juga dapat mempengaruhi kandungan lemak ikan.
Jika  ditinjau  dari  segi  kandungan  lemaknya,  ikan  sebagi  bahan  baku produk tepung ikan dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
a.       Ikan berkadar lemak rendah (3% – 5%),
b.      Ikan berkadar  lemak sedang ( 6% - 10% ), dan
c.       Ikan berkadar lemak tinggi ( lebih besar dari 10 % ).
(Murtijdo, 2003)

Tepung ikan  yang mengandung protein hewani  yang tinggi, merupakan salah  satu  bahan  baku  yang  sangat  baik  digunakan  dalam  penyusunan formulasi  makanan  ternak  dan  makanan  ikan.  Bila  ditinjau  dari  sisi kualitasnya  sampai  saat  ini  tepung  ikan  masih  sulit  untuk  mencari substitusinya.
Protein  hewani  tersebut  disusun  oleh  asam-asam  amino  esensial  yang komplek,  diantaranya  asam  amino  Lisin  dan  Methionin.  Disamping  itu,  juga mengandung  mineral  Calsium  dan  Phospor,  serta  vitamin  B  kompleks khususnya vitamin B12.
Indonesia  memiliki  potensi  yang  besar  bagi  pengembangan  produk tepung  ikan.  Ada  beberapa  daerah  yang  dapat  menunjang  pengembangan industri  tepung  ikan,  misalnya  Kalimantan  Selatan,  Kalimantan  Barat, Sulawesi  Selatan,  Nusa  Tenggara  Timur  dan  Irian  Jaya.  Industri  skala  kecil pengolahan  dan  pembuatan  tepung  ikan  di  Indonesia,  akan  sangat  tepat diterapkan,  mengingat  kesediaan  bahan  baku  ikan  rucah  maupun  sisa  olahan cukup besar. 
Indonesia  sebenarnya  sudah  memiliki  pabrik  tepung  ikan,  namun produksinya  masih  sangat  terbatas,  yaitu  sebesar  4.000  ton  per  tahun,  atau sekitar  10%  dari  jumlah  tepung  ikan  yang  diperlukan  oleh  pabrik  makanan ternak.  Adapun  90%  dari  kebutuhan  tersebut,  dipenuhi  dengan  cara mengimpor tepung dari beberapa Negara lain, misalnya Thailand, Peru, Chili, dan Denmark 
Besarnya  impor  tepung  ikan  rata-rata  pertahun  bagi  pabrik  makanan ternak  dan  ikan  mengalami  kenaikan  11,20  %.  Hal  ini  menunjukkan  bahwa pemenuhan  tepung  ikan  produksi  dalam  negeri  belum  mencukupi.  Harga tepung  ikan,  secara  umum  banyak  ditentukan  oleh  presentase  kandungan protein  kasarnya.  Tepung  dengan  rataan  protein  kasar  yang  tinggi  akan semakin tinggi haraganya. Tepung ikan impor berkualitas baik jika kandungan protein  kasarnya  bekisar  antara  60-74%  dengan  kadar  lemak  bekisar  antara 31,72  %  -  57,02  %,  lemak  antara  4,57%-20,68%,  dengan  kadar  air  antara 7,33%-11,16%. (Direktorat Jenderal Perikanan. 1998).
Dari  perbedaan  kandungan  protein  dan  lemak  tersebut  ada  tanggapan bahwa pabrik makanan ternak dan ikan cenderung lebih menyukai tepung ikan impor,  dengan  pertimbangan  bahwa  kandungan  protein  kasar  tepung  ikan impor  lebih  tinggi  dengan  kadar  lemak  yang  lebih  rendah.  Namun,  jika ditinjau  dari  kandungan  protein  kasar  dan  harganya,  maka  pabrik  makanan ternak dan ikan yang beroperasi di Indonesia lebih menyukai produksi tepung ikan lokal, karena harganya relative lebih murah 30% dibanding harga tepung ikan impor.
Tabel 2. Konsumsi Pakan Ternak Indonesia Tahun 1996 – 2001
Tahun
Konsusi (juta)
Kebutuhan Tepung (ton
1996
6,50
325.000
1997
4,80
240.000
1998
2,60
130.000
1999
3,70
185.000
2000
5,00
250.000
2001
5,75
287.500 (estimasi)
Sumber: Anonim, 2010
Tabel 2 diatas  menunjukkan  bahwa  kebutuhan  tepung  ikan  di Indonesia pada tahun 1996-2001 mengalami kenaikan angka yang cukup besar walaupun  pada  tahun  1997-1998  mengalami  penurunan  angka.  Untuk  tahun 1996-1997  konsumsi  tepung  ikan  mengalami  penurunan  angka  dari  6,50  juta sampai  4,80  juta.  Dan  kebutuhan  ikan  juga  turun  dari  angka  325.000  sampai 240.000 perton.
Untuk  tahun  1999-2000  mengalami  penurunan  yang  cukup  tinggi  yaitu dari  185.000  sampai  250.000  ton  kebutuhan  ikan.  Begitu  pula  untuk  tahun 2000-2001 juga mengalami kenaikan angka yang cukup tinggi.
Tabel 3. Kebutuhan Tepung Ikan di Indonesia Tahun 1994 – 1999
Tahun
Volum (ton)
1994
8.861
1995
7.770
1996
7.123
1997
7.579
1998
16.457
1999
31.600
Sumber: Anonim, 2010
Tabel 3 adalah kebutuhan tepung di Indonenesia sejak tahun 1994-1999 yang mengalami kenaikan. Pada tahun 1994-1996 yang mengalami penurunan angka dari 8.861-7.123  ton.  Penurunan  ini  menyebabkan  para  produsen  tepung  ikan  banyak mengalami  kerugian  karena  tepung  ikan  yang  dihasilkan  banyak  yang  tidak  terjual dan  laku.  Untuk  tahun  1998-1999  kebutuhan  tepung  ikan  di  Indonesia  mengalami kenaikan angka yang cukup tinggi yaitu mencapai 45%. Dan itu juga puncak angka kenaikan tertinggi dari tahun 1994-1999.
Tabel 4. Produksi Tepung Ikan di Beberapa Negara (per 1.000 MT)
Negara Produsen Utama
1992
1993
1994
1995
1996
1997
Chili

1.143
1.548
1.618
1.375
1.195
Peru
1.283
1.620
2.443
1.844
1.972
1.663
Norwegia
267
250
203
231
214
253
Eslandia
186
194
167
183
265
279
Denmark
355
314
348
374
297
341
Afrika Selatan
151
140
270
45
39
35
AS
279
318
76
393
400
410
Jepang
430
310
430
210
180
160
Total
4.213
4.489
5.485
4.898
4.742
4.336
Sumber: Anonim, 2003

Angka  impor  tepung  ikan  yang  dikeluarkan  oleh  BPS  (Badan  Pusat Statistik)  menunjukkan  penurunan  dari  tahun  ke  tahun.  Pada  2006  mencapai angka  88.825  ribu  ton,  pada  2008  menjadi  67.597  ribu  ton.  Tren  penurunan tersebut seiring dengan penurunan produksi tepung ikan dunia.
Hampir  semua  negara  produsen  tepung  ikan  dunia  mengalami  penurunan produksi.  Menurut  pakar  tepung  ikan  dari  Fishmeal  Experts  Office  Perancis, Jean  Francois  Mittaine,  dalam  acara  Seminar  Akuakultur  yang  diselenggarakan oleh DSM Nutritional Product (17/11) lalu di Jakarta, produsen tepung ikan dunia masih  didominasi  oleh  Chili  dan  Peru.  Dan  disebutkannya,  tren  penurunan produksi terjadi sejak 2004  yang kala itu produksi tepung ikan dunia sekitar 6,4 juta ton. Jumlah tersebut menurun setiap tahun hingga 2009 sekitar 4,8 juta ton. Mau  tidak  mau  konsumsi  tepung  ikan  dunia  juga  menyesuaikan  dengan ketersediaan  produksi.  Dari  sisi  perdagangan  internasional,  kondisi  ini berdampak  pada  merangkaknya  harga  jual  tepung  ikan.  Saat  ini  harga  tepung ikan  pada  level  US$  1.300  per  ton  atau  sekitar  Rp  12  ribu  per  kg  (kurs  Rp 9.500/US$ 1). Harga ini diprediksi terus melonjak seiring dengan tren penurunan produksi tepung ikan. Bahkan pada tahun 2006 harga sempat hampir menembus level US$ 1.400 per ton.
Penurunan  produksi  disebabkan  faktor  hasil  tangkapan  ikan  dunia  untuk bahan  baku  yang  menurun.  Ditambah  lagi  sejumlah  negara  produsen  mulai menerapkan  kuota  penangkapan  ikan,  seperti  halnya  di  Peru  yang  dimulai  sejak awal 2009. Alasan lainnya, pengembangan budidaya laut khususnya ikan salmon di Chili dan Peru mulai digalakkan. Sehingga tepung ikan banyak diserap industri pakan dalam negeri, dan angka ekspornya pun menurun. Begitu pula China yang industri  akuakulturnya  sangat  besar.  Negeri  Tirai  Bambu  itu  menyerap  impor tepung  ikan  terbesar  di  dunia,  pada  2009  angkanya  mencapai  1,6  juta  ton  (lihat tabel). Sebanyak 80% impor tersebut berasal dari Peru dan Chili.
Dan  dalam  kurun  waktu  dua  tahun  terakhir,  Indonesia  sudah  mampu mendongkrak  produksi  tepung  ikan.  Sepanjang  2007,  sebanyak  70%  dari kebutuhan  tepung  ikan  sudah  bisa  dipenuhi  oleh  tepung  ikan  lokal,  kebutuhan tepung  ikan  bagi  industri  pakan  udang  dan  ikan  berkisar  antara  90  ribu  sampai 100  ribu  ton  setiap  tahun.  Tak  hanya  mampu  mendongkrak  produksi,  para pengolah tepung ikan lokal juga telah mampu meningkatkan kualitas tepung ikan yang  dihasilkannya.  Jika  sebelumnya  para  pengolah  tepung  ikan  hanya  mampu menghasilkan tepung ikan dengan kualitas grade C (kandungan protein di bawah 40%)  dan  grade  B  (kandungan  protein  40    50%)  saja.  Sekarang  para  pengolah tepung  ikan  sudah  mampu  memproduksi  tepung  ikan  dengan  kualitas  grade  A (kandungan  protein  50    60%).  Lebih  dari  50%  yang  sudah  mencapai  kualitas grade  A.  Dan    jika  kontinyuitas  produksi  dan  konsistensi  kualitas  tepung  ikan lokal  masih  belum  bisa  diandalkan  dalam  jangka  waktu  yang  panjang (Majalah Trobos, 2010).

0 comments:

Post a Comment